Senin, 19 Februari 2018

Kelola Potensi Diri Dalam Berkarir


Di jaman sekarang, banyak orang yang usianya di bawah 30 tahun, tapi sudah menyandang jabatan manajer. Bukan manajer rekayasa ataupun sekadar titel saja, tetapi manajer betul. Artinya, anak-anak muda ini bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaan dengan volume besar dan mempunyai anak buah yang lumayan banyak.
Kita tentu saja bisa kagum dengan kondisi ini. Pada usia sedemikian, saya masih berada di ranking paling bawah di organisasi. Bayangkan, bila seseorang sudah mempunyai jabatan tinggi di organisasi dan ia masih memiliki masa berkarier 25 tahun sampai mencapai usia pensiun, bagaimana ia akan mengisi kehidupan kariernya?
Kita lihat dunia kerja sudah begitu berubah. Di banyak organisasi, kesempatan untuk maju terbuka luas bagi mereka yang berpotensi serta cakap atau kompeten. Persaingan untuk maju ke jenjang berikut menjadi lebih kompetitif, bahkan sampai sikut-sikutan. Di sisi lain, ada orang yang dengan sinis mengatakan bahwa perusahaan sengaja membuat jenjang kepangkatan dan struktur organisasi yang berlapis-lapis, sehingga membuat karyawan seolah bisa mendaki terus. Padahal, tidak ada perubahan dalam bobot kerja maupun mutu di jenjang yang lebih tinggi itu, sehingga karyawan secara mental merasa lelah dan melihat masa kerja berjalan lambat.
Di kalangan organisasi pemerintahan, perjalanan karier sering diibaratkan sebagai upaya menabung dan kesabaran menanti. Menabung dalam karier bisa diartikan sebagai menabung ijazah, sertifikat yang kemudian bisa di-“trade off” dengan kenaikan pangkat. Di lingkungan semacam ini, kegiatan menunggu diartikan dengan rasa bahwa nasib kita dalam berkarier ditentukan oleh pihak eksternal, bukan diri kita. Bagaimana kita memandang perjalanan karier kita? Seberapa jauh kita melihat diri kita bisa aktif merencanakan dan menata karier kita?
Promosi bukan kado
Ungkapan “naik pangkat” nampaknya sudah bisa ditinggalkan di jaman yang sudah berubah ini. Dengan kemajuan teknologi, gaya kerja yang lebih fleksibel, globalisasi, dan struktur organisasi yang semakin pipih, tidak berjenjang banyak, maka kemajuan karier sudah tidak bisa disamakan dengan kegiatan mendaki tangga. Gerakan karier sudah lebih mengarah pada gerakan lateral. Kita tidak bisa lagi pasrah pada batasan, aturan, pembagian wilayah, atau pengkotak-kotakan organisasi yang konvensional. Sudah semakin jarang orang yang bekerja tanpa inisiatif untuk menentukan kariernya. Keberhasilan projek, bertambahnya ketrampilan, tidak bisa disimpan baik-baik, melainkan perlu di-”jembreng” agar dijadikan bahan pertimbangan manajemen untuk penugasan yang lebih berbobot, lebih berkontribusi, dan memberi nilai tambah
Sikap rendah hati dan pasif dalam berkarier boleh dikatakan merupakan satu paket dalam cara berkarier konvensional. Sebaliknya, bila kita melihat karier sebagai sesuatu hal yang bisa kita tata sendiri, maka kita memang perlu mampu mengekspresikan ambisi, bahkan kegelisahan kita. Di saat sekarang ini, individu perlu menjadi “a known quantity” yang terlihat pencapaian kinerjanya, terutama di hadapan orang-orang yang mengambil keputusan promosi, antara lain atasan. Saat seseorang tahu ambisi kariernya, ia bisa lebih mudah mengajukan diri untuk mendapat mentoring secara terarah.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa 4 dari 5 promosi dalam sebuah organisasi dicapai oleh orang yang tekun mendapat mentoring. Tanpa disadari, kegiatan mentoring adalah kegiatan networking juga. Kita mendapat kesempatan untuk dikenal dan mengenal senior kita, serta teman-temannya. Selain itu, dari seorang mentor ataupun atasan langsung, bila hubungan kita baik, kita mendapat kesempatan untuk melihat cara dan di mana kesempatan berkembang itu ada.
Jangan alergi dengan tanggung jawab
Seorang berkomentar mengenai CEO-nya yang mempunyai beban mental sedemikian berat, karena para direktur di bawahnya enggan mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Ya, betapa sering kita melihat orang ingin memangku sebuah jabatan bergengsi  tanpa mengecek apa dan seberapa besar wewenang dan tanggung jawab yang harus diemban dan dipertanggungjawabkannya. Apakah karier akan berarti bila hanya berupa jabatan kosong, namun tidak diimbangi dengan kinerja dan nilai tambah yang terasa, terukur, dan terlihat? Individu yang ingin berkembang perlu memikirkan dan menunjukkan apa yang bisa ditambahkan agar bobot pekerjaannya meningkat. Sikap seperti ini tentu menguntungkan tidak hanya bagi individu, tapi juga bagi atasan dan organisasi. Individu dengan ambisinya ingin berkembang, sementara perusahaan menginginkan penyelesaian tugas.
Dengan keadaan organisasi yang kompetitif dan semakin tidak berjenjang, kita bisa merasa khawatir, jangan-jangan kita tidak mempunyai tempat di dalam organisasi. Ya, kita memang harus mawas diri bahwa organisasi pun tidak luput dari keharusan untuk menjadi fleksibel. Hal ini berarti kita harus ingat juga melihat kiri dan kanan, yaitu pekerjaan-pekerjaan dengan ekspertis yang berbeda. Kita tidak bisa alergi dengan pindah bagian atau divisi, karena hal ini sangat dimungkinkan. Hal yang kritikal sesungguhnya adalah mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, perencanaan, yang kesemuanya langsung bisa diterapkan di tempat kerja manapun. (Eileen Rachman/Sylvina Savitri).(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar