Indonesia memang sedang mengalami fakta pahit dalam dinamika kehidupan politiknya, di mana rasionalitas menjauh dalam kehidupan politik, ditukar oleh faktor emosi dan "kebenaran saya".
Sudah marak sejak kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, dan tak pernah berhenti hingga sekarang. Semakin marak dan canggihnya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah indikasi kasat mata dari menipisnya rasionalitas.
Penangkapan aktor-aktor MCA (Muslim Cyber Army) oleh kepolisian seakan membuka kotak pandora betapa rasionalitas sudah begitu tumpul. Bahkan akademisi dan dosen, kelompok masyarakat yang kehidupan kesehariannya, harusnya, kental dengan rasionalitas dan objektivitas, ikut terlibat dalam MCA.
Indonesia tertinggal sekitar satu tahun dibanding negara Amerika dan Eropa dalam fenomena raibnya rasionalitas dalam politik ini. Kedengarannya masih mending, tapi tetap tak bisa diterima.
Amerika Serikat, negara pesohor kiblat bagi penelitian ilmu-ilmu sosial politik, sudah terjangkit penyakit ini ketika pemilu Presiden 2016. Terpilihnya Donald Trump, yang berkampanye dengan mengangkat isu-isu sentimen ras, agama, dan warna kulit dinilai sebagai tonggak menyingkirnya rasionalitas dalam politik.
Di Eropa, fenomena ini ditandai dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), dukungan yang berkembang untuk partai politik seperti Front Nasional Prancis, yang dipimpin oleh Marine Le Pen, atau Partai Liberal Belanda (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders, dan sebagainya.(*)
#Polrestanjungpinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar